Jumat, 16 Desember 2011

Diserahkan ke Pasar, Warga Sulit Mendapatkan Rumah

Jakarta, Kompas - Warga miskin sulit mendapatkan rumah karena kepemilikan diserahkan kepada mekanisme pasar. Padahal, seharusnya pemerintah yang memfasilitasi mereka. Dampaknya, warga miskin tinggal di bantaran sungai atau di pinggir rel kereta api.
Marlea (54), warga di Duri Pulo RW 02, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, hanya bisa menghibur diri setelah gubuknya di bantaran rel baru saja digusur aparat. Ia sedih, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Marlea paham bahwa ia tidak berhak tinggal di tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut.
Meski demikian, perempuan asal Tasikmalaya, Jawa Barat, itu tidak punya pilihan papan lain. Bersama suami dan seorang anak perempuannya, Marlea membangun kembali gubuk di lokasi yang sama. Kalau dulu bangunannya dari kayu-kayu papan, kini jauh lebih sederhana. Sebuah dipan besar ditutup kelambu dan terpal menjadi struktur utama gubuk barunya.
Di depan gubuk, Marlea menggelar dagangan minuman dan mi instan guna menopang kehidupan sehari-hari. Pelanggannya adalah orang-orang jalanan yang berjudi di bantaran rel. ”Rumah kami sebelumnya digusur karena memang tanah ini milik PT KAI. Jadilah sekarang kami tinggal di sini. Kalau nanti kami digusur lagi, entah akan tinggal di mana,” ujarnya, pekan lalu. Matanya berkaca-kaca.

Di Kampung Purebali RT 12 RW 14, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, Suwarti (40) terus berjuang bertahan hidup bersama anak perempuannya yang berumur 17 tahun. Ia tinggal di sebuah gubuk berukuran 3 meter x 4 meter di tengah permukiman pemulung, pengemis, dan pengamen. Sudah dua tahun ia tinggal di permukiman tersebut setelah berpindah-pindah di sejumlah lokasi lain.
Tidak terasa Suwarti telah menjadi orang jalanan hampir 20 tahun di Jakarta. Ia pergi meninggalkan kampung di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk mengikuti suami yang menjadi kuli bangunan. Kondisi ini juga dialami sekitar 300 penghuni Kampung Purebali lainnya.
Mereka kebanyakan adalah pendatang yang mencoba mengadu nasib di Jakarta karena di desa penghasilan nihil. Jangankan buruh tani yang pendapatannya sama sekali tidak bisa diandalkan, petani yang punya sepetak sawah saja banyak yang memilih hijrah ke Jakarta.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengemukakan, perumahan rakyat selama ini diserahkan kepada mekanisme pasar sehingga sulit dijangkau warga miskin.
Padahal, di negara mana pun, negara seharusnya memberikan proteksi dan intervensi terhadap warga miskin untuk memenuhi hak dasar pemilikan rumah. ”Diperlukan pendekatan khusus di luar mekanisme pasar agar masyarakat miskin memperoleh akses membeli rumah,” ujar Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Satu komentar dari Anda sangat berharga bagi kami